Artikel Berita: Negara Hukum dan Perlindungan Anak Luar Nikah
Jakarta, 16 Juni 2025 – Negara Indonesia sebagai negara hukum memiliki kewajiban konstitusional untuk menjamin hak asasi manusia (HAM) bagi setiap warganya, termasuk anak-anak yang lahir di luar perkawinan yang sah. Pasal 28B ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Namun, dalam praktiknya masih banyak anak luar nikah yang mengalami diskriminasi sosial dan hukum karena status kelahirannya.
Anak luar nikah adalah anak yang lahir dari hubungan di luar ikatan perkawinan yang sah menurut hukumnegara. Dalam masyarakat, anak-anak ini kerap dipandang sebelah mata dan menjadi sasaran stigma karena dianggap lahir dari hubungan yang tidak sesuai dengan norma agama dan sosial. Padahal, secara kemanusiaan, anak tidak dapat memilih untuk dilahirkan dari kondisi semacam itu dan seharusnya tidak dihukum atas keputusan orang tuanya.
Fenomena ini masih menjadi isu yang kompleks di Indonesia. Anak luar nikah sering menghadapi hambatanadministratif, seperti kesulitan memperoleh akta kelahiran dengan mencantumkan nama ayah, akses terbatas ke pendidikan, layanan kesehatan, dan perlindungan hukum. Selain itu, dampak psikologis dari diskriminasi yang dialami juga menghambat tumbuh kembang mereka secara optimal.
Secara normatif, hukum Indonesia telah mengatur tentang perlindungan anak melalui berbagai instrumen hukum. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang kemudian direvisi menjadi UU No. 35 Tahun 2014, menegaskan bahwa semua anak berhak atas perlindungan tanpa diskriminasi.
Bahkan, Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hak Anak melalui Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990 yang menuntut negara untuk menjamin hak setiap anak secara setara.
Namun, KUHPerdata dan Undang-Undang Perkawinan masih menyisakan diskriminasi terhadap anak luar nikah, terutama dalam aspek warisan dan pencatatan sipil. Anak luar nikah yang tidak diakui secara hukum oleh ayahnya tidak memiliki hubungan perdata, termasuk hak waris, dengan pihak ayah. Ketentuan ini dianggap bertentangan dengan prinsip keadilan dan perlindungan anak.
Perubahan besar datang melalui Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010 yang menyatakan bahwa anak luar kawin dapat memiliki hubungan hukum keperdataan dengan ayah biologisnya sepanjang dapat dibuktikan secara ilmiah, seperti melalui tes DNA. Putusan ini menjadi tonggak penting dalam reformasi perlindungan hukum anak luar nikah.
Sayangnya, implementasi dari putusan ini masih menghadapi berbagai tantangan di lapangan. Aparat pencatatan sipil di beberapa daerah masih menolak pencantuman nama ayah tanpa adanya pengakuan tertulis atau putusan pengadilan. Di sisi lain, masyarakat masih memandang anak luar nikah sebagai simbol aib keluarga, bukan sebagai subjek hukum yang berhak dilindungi.
Oleh karena itu, dibutuhkan langkah konkret dari pemerintah dan masyarakat. Edukasi publik yang masif harus dilakukan untuk menghapus stigma terhadap anak luar nikah. Pemerintah juga perlu merevisi kebijakan administratif agar lebih inklusif dan sejalan dengan semangat Putusan MK. Selain itu, optimalisasi peran lembaga negara seperti KPAI, Dinas Kependudukan, dan lembaga bantuan hukum sangat diperlukan.
Sebagai bangsa yang menjunjung tinggi nilai keadilan dan kemanusiaan, sudah seharusnya Indonesia menjamin bahwa tidak ada satu pun anak yang terpinggirkan karena status kelahirannya. Melindungi anak luar nikah berarti menjaga masa depan bangsa. Karena sejatinya, setiap anak adalah titipan Tuhan Yang Maha Esa yang memiliki hak untuk hidup, tumbuh, dan berkembang secara bermartabat.
Penulis :
Raisa Rahmah Zafirah – 5624221040
Wulan Permatasari – 5624221036
Universitas Pancasila
Program Pascasarjana Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Pancasila