Banyumas | mediasinarpagigroup.com – Dilereng Barat Banyumas, pada awal abad ke-19, lahirlah seorang anak bangsawan bernama Nur Katon. Dari kecil, ia sudah akrab dengan dunia pesantren, mengaji, dan belajar ilmu kanuragan. Karena kecerdasan dan wibawanya, ia dijuluki Kyai, sementara dari keraton ia menerima gelar Ngabehi. Kelak, rakyat mengenalnya sebagai Kyai Ngabehi Singadipa, tokoh yang menjadi “bayangan” Pangeran Diponegoro di tanah Banyumas.
Ketika Perang Jawa (1825–1830) meletus, Singadipa masih muda, sekitar 22 tahun. Ia segera bergabung dengan pasukan Diponegoro. Pangeran mempercayainya sebagai Lurah Prajurit di wilayah barat, sebuah posisi penting karena Banyumas adalah jalur logistik yang vital. Dari sinilah nama Singadipa mulai harum.
Beliau dikenal bukan hanya ahli strategi, tapi juga cerdik. Salah satu siasatnya yang terkenal adalah “umpetan jeroning kemben” —menyamar sebagai rakyat biasa, bahkan menikahi perempuan desa untuk memperluas jaringan gerilya. Pasukan Belanda dibuat repot: siang hari Singadipa tampak seperti petani, malam hari ia memimpin serangan ke pos Belanda.
Salah satu aksi terbesar yang ia pimpin adalah penghancuran Benteng Belanda di Karangbolong. Dengan sekitar 600 prajurit, ia berhasil mengacaukan pusat pertahanan Belanda di pesisir selatan Jawa. Dari situlah reputasinya sebagai panglima gerilya semakin kokoh.
Yang membuatnya berbeda dari banyak panglima Diponegoro lain adalah ketekunannya melanjutkan perjuangan setelah Diponegoro ditangkap tahun 1830. Banyak pemimpin menyerah, tapi Singadipa tetap bertahan. Ia membawa semangat Diponegoro dengan pataka Kiai Tunggul Wulung, panji perang yang konon diberikan langsung oleh sang pangeran sebelum ditawan. Karena itulah ia dijuluki “Ksatria terakhir Perang Jawa di Banyumas”.
Di balik kerasnya perjuangan, hidup Singadipa juga penuh warna. Ia dikenal memiliki beberapa istri—sebagian memang bagian dari strategi penyamaran, sebagian lain karena tradisi bangsawan. Dari pernikahan itu lahir banyak keturunan, yang kelak menurunkan tokoh-tokoh penting republik, termasuk Suparjo Rustam (mantan Gubernur Jawa Tengah) dan Susilo Sudarman (tokoh militer dan menteri Orde Baru).
Singadipa wafat sekitar tahun 1878, dimakamkan di Panembangan, Cilongok, Banyumas. Makamnya kini menjadi tempat ziarah. Bahkan Presiden Soeharto pernah dua kali berkunjung ke sana, seolah memberi penghormatan kepada ksatria yang namanya tidak sepopuler Diponegoro, tapi jasanya tak kalah besar.
Kini, keturunannya masih berjuang agar pemerintah memberi beliau gelar Pahlawan Nasional. Bagi masyarakat Banyumas, Singadipa adalah teladan keberanian, kecerdikan, sekaligus pengingat bahwa perjuangan tak selalu selesai ketika sang pemimpin ditawan—ada orang-orang seperti dirinya yang memilih tetap berdiri hingga akhir.