Purwokerto | mediasinarpagigroup.com – Ini kisah klasik saat usia masih remaja yang penuh dengan eforia suka duka dan romantika cinta. Saat ketika pertama aku mengenalmu kekasih, kenapa hati ini senantiasa dikejar seribu bayang dan wajahmu.
Ketika pertama sekali aku menyapa dirimu kekasih, kenapa engkau hanya terdiam seribu bahasa, tetapi engkau tersenyum ramah, serasa membuka harapan kepadaku untuk beranjak, melangkah mendekati diri menggapai hatimu.
Ketika pertama sekali aku menatap matamu kekasih, langit yang mendung hanya tersenyum, hati yang terkurung hanya termenung.
Ketika pertama sekali aku menggenggam lenganmu kekasih, ada garis yang terluka ditelapak tanganmu, membuat dadaku bergetar, nuraniku memggeletar
Kenapa ada air mata yang menitik dibalik lubuk hati yang pedih, kenapa ada pelangi cinta yang meronta dalam dada, saat senja telah berwarna jingga dan malam yang temaram tiada berbintang.
Sementara angin dingin meniup perlahan, sayup-sayup terdengar petikan nada gitar berbisik mengusik hati seperti mimpi.
Aduhai betapa indahnya sepatah kata yang pernah hilang ditelam malam yang tak berbintang, tak ada rembulan dan kunang-kunang yang berterbangan, mencari kekasih yang hilang dalam kepedihan, dalam kesunyian, dalam kesendirian.
Tetapi aku sadar kenapa kau pergi, berlari menelusuri hari-hari yang tak pasti, penuh mimpi, tak bertepi hingga pagi berganti, menanti dalam keheningan dan kerinduan.
Kita memang berbeda jauh, baik status maupun posisi, kau ibarat bintang cemerlang dilangit, sebaliknya aku bukan siapa-siapa dan apa adanya sahaja.
Maafkan aku kekasih bila cinta kita tidak bisa utuh dan teguh bersama, jangan sampai air mata menitik saat senja mulai berguguran jatuh menyentuh sinar rembulan, karena semua sudah menjadi suratan cahaya illahi.(Purwokerto, medio Oktober 2025).